Hati - Hati Dengan Jari


"Goblok.. gitu aja enggak tau"
"Pernah disekolahin enggak sih mulutnya"
"Jangan sok suci.. kamu itu jangan suka nuduh sembarangan.. (bla.. bla.. bla.. )"

Itulah adalah sedikit kutipan komen yang cukup sering saya temui di akun media sosial.
Jujur saya merasa jengah dan tak henti mengernyitkan dahi bahkan tak jarang saya tutup handphone saya.
Bukan.. kalimat mereka bukan untuk saya.
Saya hanya membaca status bahkan kilasan info dari pengguna akun lain yang kemudian di setiap status ada komen yang mengikuti.
Netizen.. itulah sebutan bagi para pengguna media sosial yang kerap menimpali status atau info yang terbagi.
Memang hak mereka untuk berpendapat. Tapi apakah hak berpendapat sebebas itu?...
Buat saya bebas boleh namun tetap pada koridor kesantunan berkalimat selayaknya kesantunan berkata dengan orang lain.
Saya cukup tercengang ketika seseorang menyampaikan informasi namun ditanggapi dengan nada dan kalimat negatif oleh netizen. Dan yang membuat miris adalah ketika saya melihat profil ternyata mereka masih anak anak dengan kalimat yang sangat dari jauh dari santun.
Fenomena ini tidak bisa dianggap remeh. Menganggap bodoh orang lain atau menghina orang lain. Adu komen juga kerap terjadi di kolom komen saling menjelekkan komentar komentar lain.
Padahal apa mereka saling kenal??
Apakah mereka pernah bertatap mata??
Mengapa begitu mudah menulis kata kata yang tanpa sopan santun seperti itu??
Apakah mereka pernah berpikir sebelum menulis kiranya tulisan mereka bisa menyakiti seseorang.

Media sosial dengan segala polemiknya. Bagai 2 sisi mata uang perkembangan tekhnologi selalu menampilkan sisi positif dan negatif secara beriringan.
Dahulu kala .. pertemanan dibangun melalui jabatan tangan dan tatapan mata.
Orang berbincang dan berpendapat secara langsung bertatapan mata sehingga jelas terasa emosi yang dihadirkan. Kita akan memperhatikan lawan bicara kita. Bagaimana mereka mendengar dan berbicara dengan kita, melihat cara mereka tertawa atau melihat mereka menangis.
Proses seperti ini yang menimbulkan empati pertemanan. Kita akan dengan mudah menilai ketulusan mereka dari tatapan mata.

Saat ini...pertemanan dimulai dengan tombol jari "add friend" tanpa tahu betul siapa mereka.
Betapa saat ini banyak teman adalah banyak "like" dan "follower".
Percakapan sudah tergantikan dengan deretan ketikan kalimat. Tampilan emoticon menggantikan rasa emosi yang dirasakan. Tatapan mata tergantikan dengan tatapan layar.
Dan kita tidak akan bisa menebak apakah teman teman dunia maya benar benar berempati dengan kita.

Ini lah problem berkomunikasi saat ini. Kurangnya rasa empati. Tak jarang bagi sebagian orang orang tidak akan kuat menghadapi tekanan netizen ketika mereka memberikan feedback yang negatif.
Frustasi bahkan menimbulkan jenis penyakit psikologis terbaru akibat media sosial.

Karena itulah wahai netizen, berhati hatilah menggunakan jarimu. Gunakanlah jari jemari ini untuk menulis sesuatu yang baik. Toh jika tidak sependapat carilah kata kata yang santun dalam memberikan sanggahan. Janganlah gampang menghina orang padahal kenal secara pribadi saja tidak. Berempatilah dengan berpikir terlebih dahulu dengan pikiran yang positif. Berikan karakter terbaikmu semasa hidup. Bukankah Tuhan lebih ridho dengan orang orang yang selalu berkata dengan cara yang baik.

Itulah sebabnya masih diperlukan perang penting baik orang tua, tenaga pendidik bahkan tenaga media seperti televisi dalam mengerem perilaku tanpa empati seperti ini. Sopan santun dalam bersikap hendaknya diperluas dengan sopan santun dalam menulis kalimat.
Bagaimanapun bagi saya pendidikan tetap memberikan porsi yang besar dalam pembentukan karakter seseorang. Akan lebih baik bila saat ini pendidikan karakter lebih diutamakan dari pendidikan akademis.
Melihat gejolak seperti ini rasanya sudah tepat untuk memblokade perilaku anti empati sedini mungkin. Apalah arti nilai akademis ketika nilai moral mereka jatuh. Ketika mereka tidak bermoral maka kehidupan mereka akan jauh lebih tidak bermakna.

Note penulis :
Alangkah lebih baik jika kita bisa berpijak di dunia nyata daripada terus terjebak dalam dunia maya.
Teman terbaik adalah seorang yang bisa kau dapatkan kehadirannya secara nyata karena tak akan terlihat kepura-puraan dalam berkata kata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Let’s Read Berpetualang Menyelami Dunia Literasi Anak

Welcome Sakura 2021, Yangming Park Taiwan

Pak Bay dan Bahaya Rayuan Si Manis